Pasar Modal Syariah
1. Pengertian Pasar Modal Syariah
Pasar modal syariah secara sederhana dapat
diartikan sebagai pasar modal yang menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam
kegiatan transaksi ekonomi dan terlepas dari hal-hal yang dilarang seperti :
riba, perjudian, spekulasi dan lain-lain.
Pasar modal syariah adalah pasar modal yang
seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis efek yang
diperdagangkan dan mekanisme perdagangannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah. Sedangkan yang dimaksud dengan efek syariah adalah efek sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan dibidang pasar modal yang akad,
pengelolaan perusahaan maupun cara penerbitannya memenuhi prinsip-prinsip
syariah.
2. Sejarah Pasar Modal Syariah
Sejarah Pasar Modal Syariah di Indonesia
dimulai dengan diterbitkannya Reksa Dana Syariah oleh PT. Danareksa Investment
Management pada 3 Juli 1997. Selanjutnya, Bursa Efek Indonesia (d/h Bursa Efek
Jakarta) berkerjasama dengan PT. Danareksa Investment Management meluncurkan
Jakarta Islamic Index pada tanggal 3 Juli 2000 yang bertujuan untuk memandu
investor yang ingin menginvestasikan dananya secara syariah. Dengan hadirnya
indeks tersebut, maka para pemodal telah disediakan saham-saham yang dapat
dijadikan sarana berinvestasi sesuai dengan prinsip syariah.
Pada tanggal 18 April 2001, untuk pertama
kali Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan
fatwa yang berkaitan langsung dengan pasar modal, yaitu Fatwa Nomor
20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanan Investasi Untuk Reksa Dana
Syariah. Selanjutnya, instrumen investasi syariah di pasar modal terus
bertambah dengan kehadiran Obligasi Syariah PT. Indosat Tbk pada awal September
2002. Instrumen ini merupakan Obligasi Syariah pertama dan akad yang digunakan
adalah akad mudharabah.
Sejarah Pasar Modal Syariah juga dapat
ditelusuri dari perkembangan institusional yang terlibat dalam pengaturan Pasar
Modal Syariah tersebut. Perkembangan tersebut dimulai dari MoU antara Bapepam
dan DSN-MUI pada tanggal 14 Maret 2003. MoU menunjukkan adanya kesepahaman
antara Bapepam dan DSN-MUI untuk mengembangkan pasar modal berbasis syariah di
Indonesia.
Dari sisi kelembagaan Bapepam-LK,
perkembangan Pasar Modal Syariah ditandai dengan pembentukan Tim Pengembangan
Pasar Modal Syariah pada tahun 2003. Selanjutnya, pada tahun 2004 pengembangan
Pasar Modal Syariah masuk dalam struktur organisasi Bapepam dan LK, dan
dilaksanakan oleh unit setingkat eselon IV yang secara khusus mempunyai tugas
dan fungsi mengembangkan pasar modal syariah. Sejalan dengan perkembangan
industri yang ada, pada tahun 2006 unit eselon IV yang ada sebelumnya
ditingkatkan menjadi unit setingkat eselon III.
Pada tanggal 23 Nopember 2006, Bapepam-LK
menerbitkan paket Peraturan Bapepam dan LK terkait Pasar Modal Syariah. Paket
peraturan tersebut yaitu Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A13 tentang
Penerbitan Efek Syariah dan Nomor IX.A.14 tentang Akad-akad yang digunakan
dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal. Selanjutnya, pada tanggal 31
Agustus 2007 Bapepam-LK menerbitkan Peraturan Bapepam dan LK Nomor II.K.1
tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah dan diikuti dengan
peluncuran Daftar Efek Syariah pertama kali oleh Bapepam dan LK pada tanggal 12
September 2007.
Perkembangan Pasar Modal Syariah mencapai
tonggak sejarah baru dengan disahkannya UU Nomor 19 tahun 2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN) pada tanggal 7 Mei 2008. Undang-undang ini
diperlukan sebagai landasan hukum untuk penerbitan surat berharga syariah
negara atau sukuk negara. Pada tanggal 26 Agustus 2008 untuk pertama kalinya
Pemerintah Indonesia menerbitkan SBSN seri IFR0001 dan IFR0002.
Pada tanggal 30 Juni 2009, Bapepam-LK telah
melakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Bapepam-LK Nomor IX.A.13 tentang
Penerbitan Efek Syariah dan II.K.1 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek
Syariah.
Sejarah perkembangan pasar
modal syariah di Indonesia secara umum ditandai oleh berbagai indikator
diantaranya adalah semakin maraknya para pelaku pasar modal syariah yang
mengeluarkan efek-efek syariah selain saham-saham dalam Jakarta Islamic Index (JII). Dalam perjalanannya perkembangan
pasar modal syariah di Indonesia telah mengalami kemajuan
.
Perkembangan tersebut diterbitkan 6 (enam) Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) yang berkaitan dengan industri pasar modal. Adapun ke enam fatwa dimaksud adalah:
Perkembangan tersebut diterbitkan 6 (enam) Fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) yang berkaitan dengan industri pasar modal. Adapun ke enam fatwa dimaksud adalah:
1.
No. 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Saham
2.
No. 20/DSN-MUI/IX?2000 tentang Pedoman
Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah
3.
No. 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah
4.
No. 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah
Mudharabah
5.
No. 40/DSN-MUI/IX/2003 tentang Pasar Modal dan
Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal
6.
No. 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah
Ijarah
Fatwa-fatwa tersebut mengatur prinsip-prinsip syariah dibidang pasar modal yang meliputi bahwa suatu efek
dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip syariah apabila telah memperoleh
pernyataan kesesuaian syariah secara tertulis dari DSN-MUI.
Produk syariah di pasar modal antara lain
berupa surat berharga atau efek. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal (UUPM), Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, Unit
Penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap
derivatif dari Efek.
Sejalan dengan definisi tersebut, maka
produk syariah yang berupa efek harus tidak bertentangan dengan prinsip
syariah. Oleh karena itu efek tersebut dikatakan sebagai Efek Syariah. Dalam
Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah
disebutkan bahwa Efek Syariah adalah Efek sebagaimana dimaksud dalam UUPM dan
peraturan pelaksanaannya yang akad, cara, dan kegiatan usaha yang menjadi
landasan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip – prinsip syariah di
Pasar Modal. Sampai dengan saat ini, Efek Syariah yang telah diterbitkan di
pasar modal Indonesia meliputi Saham Syariah, Sukuk dan Unit Penyertaan dari
Reksa Dana Syariah.
A. Saham Syariah
Secara konsep, saham merupakan surat
berharga bukti penyertaan modal kepada perusahaan dan dengan bukti penyertaan
tersebut pemegang saham berhak untuk mendapatkan bagian hasil dari usaha
perusahaan tersebut. Konsep penyertaan modal dengan hak bagian hasil usaha ini
merupakan konsep yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Prinsip
syariah mengenal konsep ini sebagai kegiatan musyarakah atau syirkah.
Berdasarkan analogi tersebut, maka secara konsep saham merupakan efek yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Namun demikian, tidak semua saham
yang diterbitkan oleh Emiten dan Perusahaan Publik dapat disebut sebagai saham
syariah. Suatu saham dapat dikategorikan sebagai saham syariah jika saham
tersebut diterbitkan oleh:
a.
Emiten dan Perusahaan Publik yang secara jelas
menyatakan dalam anggaran dasarnya bahwa kegiatan usaha Emiten dan Perusahaan
Publik tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip syariah.
b.
Emiten dan Perusahaan Publik yang tidak menyatakan
dalam anggaran dasarnya bahwa kegiatan usaha Emiten dan Perusahaan Publik tidak
bertentangan dengan Prinsip-prinsip syariah, namun memenuhi kriteria sebagai
berikut:
1. kegiatan usaha tidak bertentangan dengan prinsip
syariah sebagaimana diatur dalam peraturan IX.A.13, yaitu tidak melakukan
kegiatan usaha:
perjudian
dan permainan yang tergolong judi;
perdagangan
yang tidak disertai dengan penyerahan barang/jasa;
perdagangan
dengan penawaran/permintaan palsu;
bank
berbasis bunga;
perusahaan
pembiayaan berbasis bunga;
jual beli risiko yang mengandung unsur
ketidakpastian(gharar) dan/atau judi (maisir), antara lain asuransi
konvensional;
memproduksi, mendistribusikan,
memperdagangkan dan/atau menyediakan barang atau jasa haram zatnya (haram
li-dzatihi), barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li-ghairihi)
yang ditetapkan oleh DSN-MUI; dan/atau, barang atau jasa yang merusak moral dan
bersifat mudarat;
melakukan
transaksi yang mengandung unsur suap (risywah);
2. rasio total hutang berbasis bunga dibandingkan
total ekuitas tidak lebih dari 82%, dan
3. rasio total pendapatan bunga dan total pendapatan
tidak halal lainnya dibandingkan total pendapatan usaha dan total pendapatan
lainnya tidak lebih dari 10%.
Prinsip dasar saham syariah
1.
Bersifat musyarakah jika ditawarkan secara terbatas
2.
Bersifat mudharabah jika ditawarkan kepada public
3.
Tidak boleh ada pembeda jenis saham, karna resiko
harus ditanggung oleh semua pihak
4.
Prinsip bagi hasil laba rugi
5.
Tidak dapat dicairkan kecuali dilikuidasi
B. Sukuk
Sukuk merupakan istilah baru yang
dikenalkan sebagai pengganti dari istilah obligasi syariah (islamic bonds).
Sukuk secara terminologi merupakan bentuk jamak dari kata ”sakk” dalam bahasa
Arab yang berarti sertifikat atau bukti kepemilikan. Sementara itu, Peraturan
Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 memberikan definisi Sukuk sebagai berikut : “Efek
Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan
mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi
(syuyu’/undivided share) atas:
a. aset berwujud tertentu
(ayyan maujudat);
b. nilai
manfaat atas aset berwujud (manafiul ayyan) tertentu baik yang sudah ada maupun
yang akan ada;
c. jasa (al khadamat) yang
sudah ada maupun yang akan ada
d. aset proyek tertentu
(maujudat masyru’ muayyan); dan atau
e. kegiatan investasi yang
telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah)”
1.
Karakteristik Sukuk
Sebagai salah satu Efek Syariah sukuk
memiliki karakteristik yang berbeda dengan obligasi. Sukuk bukan merupakan
surat utang, melainkan bukti kepemilikan bersama atas suatu aset/proyek. Setiap
sukuk yang diterbitkan harus mempunyai aset yang dijadikan dasar penerbitan
(underlying asset ). Klaim kepemilikan pada sukuk didasarkan pada aset/proyek
yang spesifik. Penggunaan dana sukuk harus digunakan untuk kegiatan usaha yang
halal. Imbalan bagi pemegang sukuk dapat berupa imbalan, bagi hasil, atau
marjin, sesuai dengan jenis akad yang digunakan dalam penerbitan sukuk.
2.
Jenis Sukuk
Jenis sukuk berdasarkan Standar Syariah AAOIFI
No.17 tentang Investment Sukuk, terdiri dari :
1.
Sertifikat kepemilikan dalam aset yang disewakan.
2. Sertifikat
kepemilikan atas manfaat, yang terbagi menjadi 4 (empat) tipe : Sertifikat
kepemilikan atas manfaat aset yang telah ada, Sertifikat kepemilikan atas
manfaat aset di masa depan, sertifikat kepemilikan atas jasa pihak tertentu dan
Sertifikat kepemilikan atas jasa di masa depan.
3. Sertifikat salam.
4. Sertifikat istishna.
5. Sertifikat murabahah.
6. Sertifikat musyarakah.
7. Sertifikat muzara’a.
8. Sertifikat musaqa.
9. Sertifikat mugharasa.
C. Reksa Dana Syariah
Dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor
IX.A.13 Reksa Dana syariah didefinisikan sebagai reksa dana sebagaimana
dimaksud dalam UUPM dan peraturan pelaksanaannya yang pengelolaannya tidak
bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.
Reksa Dana Syariah sebagaimana reksa dana
pada umumnya merupakan salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal,
khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan
keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka. Reksa Dana dirancang
sebagai sarana untuk menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki modal,
mempunyai keinginan untuk melakukan investasi, namun hanya memiliki waktu dan
pengetahuan yang terbatas.
Reksa Dana Syariah dikenal pertama kali di
Indonesia pada tahun 1997 ditandai dengan penerbitan Reksa Dana Syariah
Danareksa Saham pada bulan Juli 1997.
Sebagai salah satu instrumen investasi,
Reksa Dana Syariah memiliki kriteria yang berbeda dengan reksa dana
konvensional pada umumnya. Perbedaan ini terletak pada pemilihan instrumen
investasi dan mekanisme investasi yang tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah. Perbedaan lainnya adalah keseluruhan proses manajemen
portofolio, screeninng (penyaringan), dan cleansing (pembersihan).
Seperti halnya wahana investasi lainnya,
disamping mendatangkan berbagai peluang keuntungan, Reksa Dana pun mengandung
berbagai peluang risiko, antara lain:
•
Risiko Berkurangnya Nilai Unit Penyertaan.
Risiko ini dipengaruhi oleh turunnya harga
dari Efek (saham, sukuk, dan surat berharga syariah lainnya) yang masuk dalam
portfolio Reksa Dana tersebut. Ini berkaitan dengan kemampuan manajer investasi
reksadana dalam mengelola dananya.
•
Risiko Likuiditas
Risiko ini menyangkut kesulitan yang
dihadapi oleh Manajer Investasi jika sebagian besar pemegang unit melakukan
penjualan kembali (redemption) atas sebagian besar unit penyertaan yang
dipegangnya kepada Manajer Investasi secara bersamaan. dapat menyulitkan
manajemen perusahaan dalam menyediakan dana tunai. Risiko ini hanya terjadi
pada perusahaan reksadana yang sifatnya terbuka (open-end funds). Risiko ini
dikenal juga sebagai redemption effect.
•
Risiko Wanprestasi
Risiko ini merupakan risiko terburuk,
dimana pada umumnya kekayaan reksa dana diasuransikan kepada perusahaan
asuransi. Risiko ini dapat timbul ketika perusahaan asuransi yang
mengasuransikan kekayaan Reksa Dana tersebut tidak segera membayar ganti rugi
atau membayar lebih rendah dari nilai pertanggungan saat terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan. Selain itu, wanprestasi dimungkinkan akibat dari pihak-pihak
yang terkait dengan Reksa Dana, pialang, bank kustodian, agen pembayaran, atau
bencana alam, yang dapat menyebabkan penurunan NAB (Nilai Aktiva Bersih) Reksa
Dana
•
Risiko politik dan ekonomi
Risiko yang berasal dari perubahan kebijakan
ekonomi dan politik yang berpengaruh pada kinerja bursa dan perusahaan
sekaligus, sehingga akhirnya membawa efek pada portofolio yang dimiliki suatu
reksadana.
4. Jenis Investasi Berdasarkan Syariah
1.
Tabungan Bagi Hasil
2. Deposito Bagi Hasil
2. Deposito Bagi Hasil
0 comments :
Post a Comment